SAMARINDA - Panggung megah tempat para politikus beradu gagasan bukan lagi melulu di bawah sorot lampu dan gemuruh tepuk tangan, melainkan di balik layar gawai yang berkelap-kelip.
Ranah siber kini memang menjadi lahan disrupsi demokrasi bagi para kontestan politik Pilkada Serentak 2024, yang membuat aktivitas kampanye tak lagi dibatasi ruang dan waktu.
Tak ayal, media sosial menjadi wadah bagi para calon kepala daerah maupun tim pemenangan untuk memasarkan visi, misi, serta programnya secara masif. Bahkan tak jarang dijumpai justru disalahgunakan untuk melayangkan kampanye hitam hingga ujaran kebencian.
Kampanye dalam ruang digital memengaruhi daya ungkit dari citra para calon peserta pilkada. Hal ini bukan tanpa alasan. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia, lebih dari 221 juta jiwa penduduk Nusantara terhubung ke internet sehingga ruang siber dalam pilkada telah menjadi panggung politik.
Tak lagi sekadar tempat bertukar kabar dan berselancar di media sosial, internet telah menjelma menjadi arena pertarungan politik yang sengit. Kampanye hitam, perang opini, hingga penyebaran hoaks menjadi bumbu penyedap yang menghangatkan suasana.
Fenomena ini tergambar sebagai politik siber, membawa angin segar sekaligus badai yang bisa mengancam demokrasi di Tanah Air.
BACA JUGA:Pengoptimalan Peran Desa Sebagai Pilar Swasembada Pangan
Di Kalimantan Timur, yang lebih dari 80 persen penduduknya telah terhubung ke internet, gaung politik siber makin terasa. Para calon pemimpin daerah berlomba-lomba mencuri perhatian di dunia maya, menghiasi lini masa dengan janji-janji manis dan program-program inovatif.
Namun, di balik kemudahan akses dan interaksi yang ditawarkan, politik siber menyimpan potensi ancaman yang tak boleh diabaikan.
Mengubah Lanskap Politik
Salah satu perubahan paling mencolok dalam lanskap politik siber adalah penggunaan media sosial sebagai instrumen kampanye politik.
Partai politik dan politikus kini berlomba-lomba memanfaatkan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, hingga YouTube untuk menjangkau konstituen, menyebarkan pesan politik, membangun citra publik, sekaligus menggalang dukungan.
Ahmad Fauzan dalam jurnal ilmiah berjudul Media Sosial: Alat Kampanye Politik yang Efektif di Era Digital memaparkan bahwa media sosial menawarkan sejumlah keunggulan dibandingkan media konvensional seperti televisi, radio, atau surat kabar.
Media sosial dapat menjangkau jutaan pengguna secara simultan tanpa batasan geografis. Memanfaatkan media sosial untuk kampanye politik dianggap cenderung lebih murah dibandingkan dengan media konvensional.
Media sosial memungkinkan interaksi dua arah antara politikus dengan pemilih sehingga menciptakan hubungan yang lebih personal. Media sosial memungkinkan informasi dan pesan kampanye tersebar dengan cepat dan efisien.