Kuil ini terkenal sebagai tempat ibadah bagi umat Taoisme yang memuja Mazu sebagai pelindung para pelaut dan nelayan.
Kuil-kuil dengan nama yang sama juga bisa ditemukan di beberapa daerah lainnya di Taiwan, Tiongkok, dan negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Itu menunjukkan betapa pentingnya penghormatan kepada Mazu dalam kebudayaan masyarakat pesisir.
BACA JUGA:Paling Pedas
Mazu dipuja sebagai sosok yang penuh kasih dan penyelamat bagi mereka yang menghadapi bahaya di laut.
Menurut legenda, Mazu adalah seorang wanita bernama Lin Mo atau Lin Moniang yang hidup pada abad ke-10 di Fujian, Tiongkok.
Sejak kecil, Lin Moniang menunjukkan kemampuan luar biasa, seperti dapat melihat kejadian di laut dari jarak jauh dan menyelamatkan para pelaut dari badai melalui kekuatannyi.
Setelah meninggal muda pada usia 28 tahun, Lin Moniang dianggap sebagai makhluk ilahi oleh masyarakat setempat karena keajaiban-keajaiban yang dihubungkan dengan dirinyi.
Dia kemudian diangkat sebagai dewi dan dikenal sebagai Mazu, yang berarti "Ibu Leluhur."
Kuil-kuil yang didedikasikan untuk Mazu, seperti kuil "Fengshan Gong" (鳳山宮), banyak ditemukan di wilayah pesisir Tiongkok, Taiwan, dan komunitas diaspora Tionghoa di seluruh dunia.
Mazu juga memiliki perayaan tahunan yang besar, terutama di Taiwan, di mana festival untuk menghormati Mazu melibatkan prosesi, doa, dan persembahan.
Sungguh banyak pun orang Tionghoa baru tahu cerita itu dari pengasuh pesantren ini. Apalagi saya.
Sejak Ahmadie berhenti sebagai pimpinan di harian Republika saya kehilangan kontak dengannya. Rupanya ia terus jadi aktivis.
Selain mengasuh pesantren Ahmadie juga aktif di Komisi PPP (penelitian) di MUI. Juga jadi pengurus di beberapa ormas seperti PUI atau PIM (Pergerakan Indonesia Maju).
"Saya sedih, sebagian kawan di Komisi PPP MUI sampai menyebut Anda murtad," tulisnya.
Saya tidak sedih. Baik juga sesekali medsos memperdebatkan masalah hubungan kemanusiaan yang mendasar.
Untuk menutup tulisan ini saya ingat foto saya di pabrik yang baru saya kunjungi di Shenzhen.