Itu akan terjadi seperti debat antara jaksa dan terdakwa. Kamala, Anda sudah tahu, mantan jaksa agung California.
Trump, Anda lebih tahu, terdakwa di dua perkara: bisnis dan seks –dan dinyatakan terbukti bersalah.
BACA JUGA:Sutradara Agung
Dengan gambaran seperti itu Kamala seperti sangat menunggu debat itu. Kamala tahu Trump sering menghujatnyi di kampanye-kampanyenya. Kamala pun hanya bisa menyindir: seorang gentleman akan memilih menyampaikan langsung kritik di depan yang dikritik.
Trump mengerti lagi disindir. Trump langsung menyatakan bersedia debat dengan Kamala. Maka debat bulan depan nanti sangat seru.
Tentu bukan hanya debat antara capres laki-laki dan capres perempuan. Antara ''jaksa'' dan ''terdakwa''. Antara konglomerat dan kelas menengah. Antara kulit hitam dan kulit putih. Serba diametral.
Trump telanjur pede agung: 'hanya' akan melawan Joe Biden yang lebih tua, gagap dengan popularitas yang lagi turun. Tiba-tiba kini harus berhadapan dengan Kamala: capres yang datang dari kulit hitam.
"Rasanya selama ini kita hanya mendengar Kamala itu keturunan India," begitu kurang lebih cara Trump memojokkan Kamala.
Trump seperti tidak ingin Kamala diidentikkan sebagai kulit hitam. Bahaya. Bisa terjadi seperti di awal kemunculan Capres Obama. Mayoritas kulit hitam memilih Obama.
"Kok tiba-tiba mengaku kulit hitam," kira-kira begitu inti kata-kata Trump menyindir Kamala.
Situasi di lapangan memang mirip dengan di awal masa Obama. Heboh. Bergairah. ''Kamala adalah kita''. Di mana-mana.
Kamala memang tidak pernah masuk gorong-gorong tapi dia pernah bekerja di McDonald.
"Hanya orang dari kelas menengah yang tahu keinginan orang kelas menengah," ujar Kamala. "Konglomerat tidak akan tahu itu. Konglomerat hanya tahu dirinya sendiri".
Di situ debat ekonomi akan seru: jalan mana yang harus ditempuh agar negara maju.
Trump memilih jalan lewat orang-orang kaya. Mereka yang mampu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Mereka yang terbukti mampu menciptakan lapangan kerja.
BACA JUGA:Sembahyang Rebutan