Siapapun Pemenangnya, Pilkada 2024 akan Cetak Sejarah Baru di Belitung Timur

Rabu 21 Aug 2024 - 22:04 WIB
Oleh: Bryan Bimantoro

Apalagi, Mahkamah Konstitusi sempat menghembuskan angin segar kepada Fifi Lety agar bisa dicalonan dengan gabungan partai non-parlemen. Namun, gabungan partai non-parlemen harus memiliki minimal 10 persen dari hasil suara Pileg 2024 yang lalu. Hal itu tidak mungkin terjadi di Belitung Timur karena hasil Pileg dari gabungan partai non-parlemen di Belitung Timur jumlahnya tidak lebih dari 5000 suara.

BACA JUGA:Putusan MK Cegah Aksi Borong Dukungan Terhadap Paslon pada Pilkada

Setelah semuanya, Pilkada Belitung Timur dengan dua pasangan ini, siapapun pemenangnya tetap akan menciptakan sejarah baru dalam dunia politik Belitung Timur. Jika pasangan Burhanudin dan Ali Reza Mahendra memenangkan kontestasi, maka akan tercipta sejarah baru bahwa ada bupati yang mampu menjabat dua periode di Belitung Timur. Sepanjang daerah ini berdiri, tidak pernah ada bupati yang menjabat kembali di periode kedua. Terakhir saat Basuri Tjahaja Purnama, adik Ahok mencalonkan diri untuk periode kedua pada 2010 lalu, dikalahkan oleh Yuslih Ihza Mahendra, adik Yusril Ihza Mahendra.

Kemudian, jika pasangan Kamarudin Muten dan Khairil Anwar memenangkan Pilkada Belitung Timur 2024, maka sejarah baru kursi eksekutif dihuni PDI Pejuangan akan tercipta. Sejauh kepemimpinan politik di Belitung Timur, PDI Perjuangan belum sama sekali merasakan empuknya kursi eksekutif meski sudah langganan duduk sebagai ketua lembaga legislatif. 

Bupati Belitung Timur definitif pertama pilihan rakyat yakni Basuki Tjahaja Purnama diusung oleh Partai Nasional Banteng Kemedekaan dan Partai perhimpuna Indonesia Baru. Kedua ada Basuri Tjahaja Purnama yang diusung tunggal oleh Partai Golkar dan mengalahkan empat pasangan lainnya. Bupati ketiga pilihan rakyat adalah Yuslih Ihza Mahendra, adik Yusril Ihza Mahendra. Dia diusung oleh Partai Bulan Bintang, Partai Gerindra, dan Partai Golkar. Lalu, bupati terakhir yang duduk yakni Burhanudin pada 2020 lalu diusung oleh Partai Golkar, PKS, dan PPP mengalahkan lawannya yakni Yuri Kemal Fadlulloh dengan koalisi 7 partai, termasuk PDI Perjuangan.

Pada akhirnya, politik merupakan ajang untuk memperkokoh kepentingan oleh para elit politik sebagai pencapaian partai politiknya. Partai politik yang ada, termasuk figur-figur politik di dalamnya tidak murni ingin bertarung untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan kelompok mereka sendiri. Sama sepeti yang dikatakan Adam Smith, "... kita tidak hidup dari belas kasih penjual roti, melainkan oleh karena kecintaan penjual roti tersebut kepada dirinya sendiri...". Artinya baik buruknya dunia adalah efek bukan karena parpol itu cinta kepada rakyatnya, melainkan mereka cinta terhadap kepentingannya sendiri dan partai politiknya. (Yunus, Nur Rohim: 2018). 

BACA JUGA:Menjernihkan Pemahaman Tentang Kontrasepsi di PP 28/2024

Itulah kepentingan politik, tidak ada kawan abadi dalam kepentingan politik. Politik merupakan permainan yang dinamis, mudah berubah atas nama kepentingan politik bahkan di detik-detik terakhir. Para elit politik merupakan aktor di panggung politik, sedangkan rakyat pendukungnya merupakan penonton yang hanya dibutuhkan saat mendekati pemilihan dan berada di bawah panggung. 

Lucunya, malah para penonton di bawah panggung ini yang kerap heboh karena pertunjukkan di atas panggung, yang notabene adalah sandiwara politik belaka. Bahkan demi membela aktor mereka di atas panggung, penonton di bawah rela baku hantam supaya argumennya menang, sedangkan aktor yang mereka dukung tengah ngopi bareng merencanakan sandiwara berikutnya. Karenanya, kedewasaan dalam berpolitik sangat diperlukan, apalagi di era tsunami informasi saat ini supaya masyarakat tidak lagi jadi korban kepentingan politik elit.

*) Bryan Bimantoro,

(Sarjana Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

Kategori :