Sembahyang diawali dengan pembagian hio. Ukuran sebesar pensil. Bukan yang seukuran lidi. Masing-masing tiga hio.
Ini bukan kali pertama saya pegang hio. Ujungnya sudah membara. Saya pun menerimanya dengan cara biasa: memegang bagian bawahnya. Ups... Aduh! Panas!
Hampir saja hio terlepas. Ternyata hio itu dibakar di dua sisinya. Jari saya memegang api itu!
Saya tahan rasa sakit. Saya jaga wajah untuk tetap tersenyum. Baru sekali ini saya tahu ada hio dibakar dua ujungnya.
Setelah tiga kali diangguk-anggukkan, hio itu diambil petugas sembahyang. Ditancapkan di bejana abu. Asap mengepul. Bersatu dengan asap-asap dari berbagai bejana lainnya.
BACA JUGA:Tanah Timbul
Komando MC selanjutnya: gerakan sujud. Maka, semua lutut bertumpu di bantal. Lalu, ada komando untuk sujud tiga kali. Sujudnya seperti salat, tapi dahi tidak sampai menyentuh tanah.
Lalu berdiri. Rakaat pertama selesai. Diteruskan dengan rakaat kedua dan ketiga. Dengan gerakan yang sama. MC pun menutup sembahyang dengan doa dalam bahasa Indonesia. Doa untuk hidup tenang, rukun, dan banyak rezeki.
Satu jam kemudian, pukul 20.00, sembahyang serupa dilakukan lagi di dalam kelenteng. Di depan altar dewa-dewa. Termasuk Dewa Cheng Ho. Juga, dewa dari kelenteng-kelenteng lain.
Sembahyang di depan altar ini ditambah satu ritual: persembahan. Arak, teh, dua macam kue dan buah.
BACA JUGA:Rahasia Haniyeh
Ketua Yayasan Tay Kak Sie, Tanto Hermawan, yang menaruhnya di atas altar. Tanto adalah pengusaha besar di bidang perikanan. Juga, punya pabrik sarung tangan. Banyak lagi usaha lainnya.
Selesai sembahyang, saya merasa lapar. Belum makan malam. Maka, kami buru-buru meninggalkan kelenteng. Anda sudah tahu ke mana: ke toko lun pia Jalan Lombok.
Rupanya Novi Sofian mengejar kami. Ketua panitia yang lima ”i” itu menarik lengan saya tepat ketika tiba di depan lun pia.
Novi menjawil saya: Bapak harus makan di kelenteng.
Maka, gagallah proyek makan lun pia Jalan Lombok. Kami balik ke kelenteng. Saya tahu: semua menunya pasti vegetarian. Apa boleh buat.