SAYA juga marah. Pada diri sendiri –sejak sebelum perusuh Disway memarahi saya, Senin lalu. Saya juga menyesal: mengapa memaksakan diri menulis soal penembakan capres Donald Trump. Yang isinya tidak ada yang baru. Tidak ada mutunya. Parah.
''Sama selali tidak layak Disway''. Tidak ada yang menarik. Seperti hanya mengutip berita yang sudah tersiar luas. Tidak mau berjerih payah mencari sesuatu yang berbeda. Lebih dari parah.
"Kalau memang sangat sibuk, mengapa tidak menulis yang lain saja. Mengapa harus seolah wajib menulis sesuatu yang besar yang baru saja terjadi."
"Mengapa tidak menulis puisi saja. Puisi penembakan Trump."
BACA JUGA:Gayus Ike
BACA JUGA:Viral S-3
"Mengapa tidak menulis yang lain saja, misalnya mengapa pipi tidak lagi tembem."
"Mengapa tidak mengomentari saja pidato Prabowo yang seolah berseberangan dengan Presiden Jokowi soal infrastruktur?”
Saya sendiri menambahkan kemarahan itu: "mengapa tidak menulis soal kemajuan di dua lembaga pendidikan Islam itu. Di Sidoarjo dan Krian itu. Yang saya kunjungi berturut di hari penembakan Trump".
Padahal pesantren Al Amanah di Krian dan pesantren bilingual Raudlatul Jannah di Sidoarjo istimewa sekali.
Huh!
Mengapa menyesal itu pasti kemudian?
BACA JUGA:Telinga Kanan
BACA JUGA:Tsunami Pokir
Misalnya soal Prabowo yang pidato infrastruktur itu. Sebenarnya mudah sekali menulisnya. Mungkin 20 menit selesai. Yakni bahwa ternyata, itu, pidato itu, diucapkan di depan tentara muda. Prabowo bicara soal pentingnya keamanan. ''Untuk apa membangun infrastruktur hebat-hebatan, jalan tol, bandara, kalau negara tidak aman."