DKPP Berlakukan Pemberhentian Terhadap Hasyim Asyari, KMPKP Berikan Apresiasi

Minggu 07 Jul 2024 - 21:07 WIB
Reporter : Erry Frayudi
Editor : Erry Frayudi

JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mengapresiasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas keputusan tegas memberhentikan Hasyim Asyari dari jabatannya sebagai Ketua dan Anggota KPU periode 2022-2027. Langkah ini dianggap sebagai upaya penting untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), Titi Anggraeni, menyatakan bahwa pemberhentian Hasyim Asyari adalah keputusan terbaik untuk menyampaikan pesan tegas bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dalam ranah penyelenggaraan pemilu.

Dalam Putusan Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024, DKPP menemukan bahwa terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang antara Pengadu dan Teradu, yang merugikan Pengadu sebagai perempuan karena berada dalam posisi yang tidak dapat menentukan kehendaknya secara bebas dan logis.

"Alhasil, Teradu bisa melakukan kekerasan terhadap korban dengan memaksa dan menjanjikan sesuatu yang melanggar integritas dan profesionalitasnya sebagai Ketua sekaligus Anggota KPU," kata Titi dalam keterangan tertulis yang diterima pada Minggu, 7 Juli 2024.

BACA JUGA:Kontroversi Mark Up Impor Beras dan Demurrage: Ekonom Ungkap Dampaknya ke Masyarakat

BACA JUGA:Menko PMK Muhadjir Effendy Apresiasi Perbaikan Tata Kelola Dam pada Haji 2024

DKPP menegaskan bahwa Hasyim Asyari telah menggunakan pengaruh, kewenangan, jabatan, dan fasilitas negara untuk keuntungan pribadi. Selain itu, dia memanfaatkan posisinya sebagai Ketua KPU untuk melakukan tindakan yang memaksa dan menjanjikan sesuatu yang melanggar kode etik.

Hasyim Asyari terbukti melanggar sejumlah ketentuan dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, termasuk Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2) huruf a dan c, Pasal 6 ayat (3) huruf e dan f, Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 huruf a, Pasal 11 huruf a, Pasal 12 huruf a, Pasal 15 huruf a dan d, Pasal 16 huruf e, dan Pasal 19 huruf f.

"Berdasarkan tren yang ada, kasus kekerasan berbasis gender di lingkungan penyelenggara pemilu meningkat tajam," tegas Titi.

Selama periode 2017-2022, DKPP menangani 25 kasus kekerasan seksual. Pada tahun 2022-2023, terdapat 4 kasus, dan pada tahun 2023 meningkat tajam dengan 54 laporan tentang perbuatan asusila dan pelecehan seksual.

BACA JUGA:Enggan Berkarir di Indonesia, Mahasiswa Pariwisata Pilih Hongkong untuk Magang dengan Gaji Besar

BACA JUGA:Tak Kunjung Usai: 7 Bulan Berstatus Tersangka, Beredar Video Firli Bahuri Bermain Bulu Tangkis

Berbagai kasus tersebut meliputi pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis terhadap calon perempuan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual di ranah privat maupun publik. Kalyanamitra bahkan menemukan kasus pemaksaan perkawinan dengan motif kepentingan pemilu di Sulawesi Selatan.

Dengan eskalasi kasus yang meningkat, KMPKP menilai bahwa putusan DKPP ini menjadi langkah tegas sekaligus sinyal kuat untuk menjaga konsistensi perlindungan perempuan dalam pemilu.

"Putusan ini harus menjadi preseden ke depan untuk ditegakkan secara konsisten bahwa tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, khususnya dalam ranah pemilu. Paradigma ini penting agar tidak mengendorkan semangat perempuan untuk menjadi subyek penting dalam aktivitas pemilu di Indonesia, baik sebagai pemilih, penyelenggara, maupun peserta," tambah Titi. (dis)

Kategori :