Pukul 08.30 antrean kiri bergerak. Saya hitung: 89 wartawan. Yang tua-muda-laki-perempuan imbang. Habis. Antrean kiri kosong. Otomatis muncul PHP baru: yang kanan pun akan segera bergerak.
Saya justru mulai realistis. Saya sudah tahu berapa jumlah tempat duduk di ruang sidang itu. Saya sudah masuk ruang sidang itu kemarinnya. Sudah saya hitung: delapan bangku panjang; kanan kiri; satu bangku tujuh orang; deret paling depan untuk bangku tunggu tim jaksa dan pengacara.
Tersisa... hitung sendiri. Lalu yang antrean kanan ini mau ditaruh di mana?
BACA JUGA:Lia Ahok
BACA JUGA:Lia Simple
Saya mulai merancang skenario kedua: kalau gagal masuk ke sana harus pergi ke mana. Jadwal sudah saya kosongkan sehari itu.
Saya tidak berani bikin janji dengan ustaz Shamsi Ali --ingin tahu pesantren besarnya di antara New York - Boston sudah seperti apa.
Sampai jam 09.00 belum ada kabar untuk antrean kanan. Wanita pirang di depan saya masih tidak henti-hentinya diwawancara wartawan. Dia memang menarik: membawa boneka tangan. Boneka Trump.
Waktu diwawancara seperti mulut boneka itu yang menjawab --mulut itu digerakkan oleh jari-jarinyi. Itu boneka bikinannyi sendiri. Khusus untuk menghadiri sidang Trump.
Beredar juga di antrean itu print out gambar-gambar lucu yang mengejek Trump.
Ada pengantre yang membawa segebok kertas lelucon itu. Siapa saja boleh mengambil dan memperlihatkan ke sesama pangantre.
Untung saya sudah mengikuti sidang kriminal di ruang sidang itu sehari sebelumnya. Saya sudah tahu di mana posisi-posisi terdakwa, hakim, jaksa, pengacara dan juri.
Pukul 09.15 vonis itu dijatuhkan: ruang sidang sudah penuh. Tidak ada yang bisa masuk lagi. Pun yang antre paling depan.
BACA JUGA:Lia James
BACA JUGA:James Surip
Tidak ada yang marah. Tidak ada yang protes. Lebih 100 orang yang antre di kanan bubar begitu saja.