Dalam menghadapi tantangan global tuberkulosis (TB) yang resisten terhadap obat-obatan dan pandemi coronavirus baru, disfungsi imun pada pasien TB dan kemunculan strain Mycobacterium tuberculosis (Mtb) yang resisten telah menjadi hambatan besar dalam pengendalian dan pencegahan TB.
Terapi yang ditujukan pada inang (HDT) muncul sebagai pendekatan baru, terutama dalam infeksi patogen kronis seperti TB, dengan tujuan untuk meningkatkan pengendalian infeksi dan meredakan inflamasi dengan mengatur respons imun inang, sehingga mengurangi kerusakan jaringan.
Sel punca mesenkimal (MSCs) telah menjadi pusat perhatian karena fungsinya yang kuat dalam mengatur imunitas dan kemampuan mereka untuk mengganti atau memperbaiki jaringan yang rusak, menjadikannya kandidat ideal untuk penyakit kronis.
BACA JUGA:Pentingnya penanganan stunting berkelanjutan di Indonesia
MSCs dapat mempengaruhi sistem imun tubuh melalui interaksi langsung antar-sel, produksi enzim, dan sitokin yang larut. Telah dilaporkan bahwa MSCs dapat meningkatkan fungsi sel T regulator (Tregs) dan sel Th2, menghambat pelepasan IFN-g oleh Th1, dan mengatur keseimbangan Th1/Th2 melalui sekresi PGE2.
MSCs dapat mengatur respons sel T dan mendorong polarisasi makrofag M1 ke M2 dengan mengekspresikan indoleamin 2,3-dioxygenase (IDO) dan mengaktifkan jalur sinyal CD39/CD73/adenosin. Efek MSCs ini juga terkait dengan kemampuan mereka untuk menghambat pematangan dan fungsi sel dendritik (DCs), serta mengaktivasi transformasi sel B menjadi sel B penghasil IL-10 (Breg), dengan IDO berperan dalam efek yang dimediasi oleh MSCs.
Selain itu, vesikel ekstraseluler (EVs) yang dikeluarkan oleh MSCs memiliki kemampuan imunomodulasi yang kuat. EVs dapat menurunkan respons Th1 in vitro, mengurangi jumlah sel Th17 dan sekresi IL-17, serta meningkatkan proporsi sel Treg.
EVs juga berpengaruh terhadap fungsi garis keturunan sel B dengan menghambat sekresi imunoglobulin. Dengan cara ini, MSCs dan EVs yang mereka keluarkan menawarkan janji sebagai terapi inovatif untuk TB, dengan potensi untuk meningkatkan pengendalian bakteri dan mengurangi kerusakan jaringan melalui modulasi luas pada berbagai sel sistem imun.
Strategi inovatif menaklukkan TB
Nanomedisin telah menunjukkan potensi besar dalam pengobatan tuberkulosis (TB), dengan kemampuan untuk meningkatkan ketersediaan hayati, menargetkan pengiriman obat ke lokasi infeksi, dan mengurangi durasi pengobatan.
BACA JUGA:Konsumsi dan Investasi jadi Pemacu Pertumbuhan ekonomi
Teknologi nanopartikel memungkinkan pengemasan obat anti-TB seperti rifampicin, isoniazid, dan pyrazinamide dalam matriks polimer, memfasilitasi pengiriman yang dikendalikan dan sistemik.
Studi telah menunjukkan bahwa administrasi nanomedisin secara subkutan atau oral pada model hewan meningkatkan penyerapan, distribusi, dan penghapusan bakteri dari organ yang terinfeksi tanpa toksisitas yang signifikan.
Nanopartikel juga berhasil digunakan dalam terapi inhalasi, mengantarkan obat langsung ke makrofag alveolar, lokasi utama tempat TB berada, dengan efikasi yang lebih tinggi dibandingkan rifampicin bebas.
Selain itu, penggunaan nanomedisin dan agen kimia seperti vitamin D, quercetin, dan asam ursolik dalam pengobatan TB menawarkan strategi baru untuk meningkatkan efikasi terapi dan mengurangi durasi pengobatan.
Nanopartikel yang dirancang untuk meningkatkan pengiriman obat dan penargetan situs infeksi menjanjikan peningkatan bioavailabilitas dan penurunan resistensi obat.