TEMPAT saya ''bersembunyi'' selama masa kampanye serasa dikelilingi masjid. Serasa dekat semua. Berkat pengeras suara yang seperti lomba besar-besaran watt.
Sesekali terdengar pengumuman dari pengeras suara itu: Innalillahi wainna ilaihi rajiun.
Itu pembukaannya. Pertanda ada orang meninggal dunia. Sambil angkat batu saya pun tahu siapa yang meninggal: seorang wanita di desa seberang sawah.
Itu juga pertanda teman kerja saya tidak bisa datang. Harus melayat. Begitulah etika di desa. Masih dijunjung tinggi. Kian ke kota kian rendah penegakan etika. Apalagi sampai di ibu kota.
Saya masih berharap rekan kerja itu masih bisa datang setengah hari paro kedua. Setelah selesai melayat. Saya belum bisa melakukan apa yang pandai ia lakukan: memindah pohon buah.
BACA JUGA:Alvin Hotman
BACA JUGA:Sopir Salim
Ada beberapa pohon buah yang harus segera dipindah. Ia pasti datang. Pengumuman berita duka tadi masih sangat pagi. Sebelum jam 12.00 pasti sudah dimakamkan.
Menjelang jam 12.00 ada pengumuman ''innalillahi'' lagi. Dari pengeras suara masjid yang sama.
Saya pun –tanpa menilingkan telinga– tahu: ada yang meninggal lagi.
Masih sambil mengangkat batu saya tahu: yang meninggal kali ini laki-laki. Namanya Pak San. Saya kaget. Jangan-jangan rekan kerja saya itu. Rekan mencangkul itu namanya Pak Kasan. Pak Kasan tinggal di desa itu: di arah pengeras suara itu.
Saya lega. Ternyata Pak San yang baru meninggal itu bernama Santoso.
Saya pun pasrah. Berarti partner saya berkebun akan melayat lagi. Ia akan lebih mementingkan etika daripada kehilangan jabatan sebagai pencangkul.
Target pindah-pindah pohon hari itu pun meleset.
BACA JUGA:Triple Seto