Menaklukkan Tambora

Selasa 17 Jun 2025 - 20:10 WIB
Oleh: Ady Ardiansah/Sugiharto Purnam

Waktu menunjukkan sekitar pukul 17.00 WITA. Suhu yang sebelumnya hangat mulai terasa menyengat tulang. Udara gunung berubah cepat menusuk dari telapak kaki hingga ke ruas punggung.

Ketinggian saat itu telah mencapai 1.825 meter di atas permukaan laut. Mereka segera mengenakan jaket ganda, sarung tangan, menyesuaikan senter kepala, dan mengecek perlengkapan pribadi.

Kabut turun perlahan membungkus jalur setapak, seperti tirai tipis yang dijatuhkan oleh alam. Aroma tanah basah, angin pegunungan, dan embusan kabut menjadi penanda bahwa perjalanan dari Pos III menuju Pos Bayangan (antara Pos IV dan Pos V) tak hanya tentang jarak melainkan ujian ketahanan fisik dan mental.

Menuju Pos V

BACA JUGA:Mengurai Akar Premanisme Ormas Lewat Strategi Ekonomi Inklusif

Perjalanan 1 jam 20 menit ditempuh dalam hening. Tak banyak suara, kecuali desir angin dan gesekan langkah di tanah basah. Saat tiba di Pos Bayangan, suhu udara turun drastis.

Jarak pandang terbatas hanya sekitar lima meter. Waktu menunjukkan pukul 18.25 WITA. Suara burung hantu dan makhluk malam menyertai perjalanan para pendaki, seperti bisikan masa lalu yang hidup kembali.

Pukul 19.50 WITA, rombongan pendaki tiba di Pos V pada ketinggian 2.050 meter di atas permukaan laut. Itulah pos terakhir sebelum mendaki ke puncak Gunung Tambora, tempat paling nyaman untuk bermalam agar siap menyambut summit attack saat dini hari.

Malam itu, Gunung Tambora tampak tidak bersahabat. Angin berhembus panjang. Kabut makin tebal. Tak lama, hujan deras mengguyur tenda dan shelter tua peninggalan masa awal pendakian.

Para pendaki berteduh rapat, memeluk hangat tubuh sendiri, menanti malam benar-benar larut.

Hujan reda jelang tengah malam, tapi rasa dingin belum jua pergi. Kabut tetap menggantung. Tepat pukul 04.20 WITA, mereka memulai perjalanan menuju puncak Gunung Tambora.

BACA JUGA:Mengurai Akar Premanisme Ormas Lewat Strategi Ekonomi Inklusif

Langkah kaki pelan, senter kepala menyorot jalan yang berpasir dan curam. Oksigen semakin tipis dan napas semakin pendek. Tak ada percakapan, hanya desahan dan gumam kecil yang bertahan melawan rasa kantuk dan beban ransel.

Di satu lekukan jalur, sebagian rombongan berhenti. Jaket dibuka, alas dibentang, dan salat Subuh berjamaah dilaksanakan di bawah langit terbuka. Suara takbir dan doa mengalun lirih di antara batu dan dingin.

Di ufuk timur, semburat jingga membelah sisa gelap malam. Pukul 05.25 WITA, rombongan akhirnya mencapai puncak Gunung Tambora yang berada lebih dari 2.800 meter di atas permukaan laut.

Kaldera Tambora menganga luas di hadapan pendaki. Awan menggulung di kejauhan ibarat ombak yang tak pernah mencapai pantai. Mereka berdiri, duduk, bahkan berlutut bukan karena lelah, tapi karena tak ada kata yang cukup menggambarkan makna capaian ini.

Di bibir kaldera, Johan Rosihan yang kelahiran Sumbawa itu turut menapaki medan sejak bawah mengutarakan refleksinya. Dia menggumam bahwa Tambora mengajarkan tentang arti kerendahan hati. Bahwa membangun alam, merawatnya, bukan sekadar tugas, tapi panggilan jiwa.

Kategori :