BELITONGEKSPRES.COM - Kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang dokter kandungan di Garut kembali membuka luka lama soal lemahnya perlindungan terhadap pasien, terutama perempuan, di ruang pelayanan kesehatan.
Bagi Anggota Komisi III DPR RI Dewi Juliani, ini bukan hanya soal pelanggaran etik profesi, tetapi tentang kegagalan sistem dalam menjamin rasa aman bagi masyarakat.
“Ketika ruang yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan penyembuhan justru menjadi ruang kekerasan, ini bukan sekadar pelanggaran. Ini adalah kejahatan yang menghancurkan kepercayaan publik,” ujar politisi PDIP itu dalam keterangannya pada Rabu, 16 April.
Dewi tidak hanya menuntut penindakan terhadap pelaku. Ia juga menyoroti peran institusi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), KKI (Konsil Kedokteran Indonesia), hingga aparat hukum untuk tidak menormalisasi atau menyederhanakan kasus semacam ini.
BACA JUGA:Lisa Mariana Klaim Diminta Buat Video Syur oleh Ridwan Kamil, Dijanjikan Rp 50 Juta tapi Tak Dibayar
BACA JUGA:Program Cek Kesehatan Gratis, Langkah Nyata Menuju Indonesia Emas 2045
Menurutnya, kasus kekerasan seksual di ruang medis adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang dampaknya sangat dalam, baik secara fisik maupun psikis bagi korban.
“IDI harus menunjukkan bahwa mereka bukan hanya pelindung profesi, tapi juga penjaga martabat korban. Tidak boleh ada penyelesaian diam-diam, apalagi demi menjaga nama baik,” tegasnya.
Dewi juga mengkritisi kecenderungan penyelesaian damai dalam kasus-kasus seperti ini, yang kerap terjadi karena tekanan atau intervensi dari pihak berkepentingan. Ia menegaskan, penyelesaian semacam itu hanya akan mengabadikan siklus kekerasan dan memperparah trauma korban.
“Tidak boleh ada perlindungan terhadap pelaku. Jika terbukti bersalah, sanksi seperti pencabutan STR harus segera dilakukan. Ini bukan hanya soal keadilan, tapi soal memberi sinyal tegas kepada seluruh tenaga medis bahwa kekerasan seksual tidak akan ditoleransi,” kata Dewi.
Lebih jauh, Dewi menekankan pentingnya dukungan hukum dan psikologis bagi korban, serta edukasi publik tentang hak-hak pasien dalam ruang perawatan. Ia menyerukan agar negara hadir secara nyata, bukan hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga tindakan nyata di lapangan.
“Ini bukan sekadar soal satu kasus. Ini tentang bagaimana negara memastikan bahwa setiap pasien, terutama perempuan, merasa aman, dihormati, dan dilindungi saat mencari layanan kesehatan,” tutupnya. (jawapos)