Pilpres, Capres, dan Feodalisme

Isral Naska (Dokumentasi Pribadi)--

PEMBICARAAN tentang feodalisme sehubungan dengan pemilu presiden kembali menghangat, setidaknya sejak Oktober lalu. Sebagaimana pemberitaan beberapa media arus utama nasional, Jimly Asshiddique menyampaikan kritik terbuka terhadap budaya feodal pada Silaknas ICMI di Makassar. Tokoh tersebut menyebut bahwa terdapat upaya-upaya yang ia sebut sebagai “mendarahbirukan” sistem republik di Indonesia. Indonesia bergerak ke arah negara republik dengan kelakuan kerajaan. Dia membandingkannya dengan Inggris yang merupakan negara kerajaan, tapi bersikap ala republik. Menurut dia, hal ini adalah persoalan nasional yang harus dibereskan.

Pembicaraan tentang feodalisme kembali mencuat di media massa arus utama dan media sosial awal tahun ini. Komentar kenangan beberapa tokoh publik tentang tokoh Rizal Ramli yang baru saja wafat menyebut-menyebut istilah feodalisme. Almarhum dianggap sebagai seorang figur nasional yang konsisten berjuang melawan budaya tersebut.

Di X (Twitter) gunjingan tentang feodalisme muncul sehubungan dengan debat calon presiden yang baru saja berlangsung, walaupun perbincangan itu tidak terlalu viral.

Diskusi tentang budaya feodal yang mengakar dalam sistem politik Indonesia serta umpatan terhadap betapa buruknya budaya tersebut dalam sebuah negara modern bukan barang baru sebenarnya. Sebagai contoh, sebuah publikasi dari website komnas HAM tahun 2019 menyorot keras betapa buruknya budaya ini. Disebut bahwa feodalisme menciptakan sekat batin dalam kelompok masyarakat sehingga kritik ala alam demokrasi tidak bisa muncul dengan bebas, karena keyakinan bahwa orang bawah tidak dapat mengkritik orang atas. Jurnal-jurnal ilmiah juga membicarakan hal ini, bahwa feodalisme misalnya disimpulkan sebagai sumber korupsi, ketidakadilan dan keterbelakangan.

BACA JUGA:Tugas Tambahan Itu Adalah Amanah

BACA JUGA:Menyingkap Problematika Insan Muda di Film

Menurut beberapa sumber, feodalisme sebagai sebuah istilah muncul pertama kali pada abad ke-17. Istilah itu dimunculkan untuk menggambarkan sebuah praktik di mana pihak-pihak tertentu karena sebab tertentu memiliki lahan sangat luas, dikenal sebagai tuan tanah (lord), memperoleh loyalitas tak terbatas dari pihak-pihak lain yang menumpang hidup di tanah mereka. Praktik ini menciptakan kelas sosial yang kaku, yaitu antara tuan tanah (penguasa) dan rakyat jelata (penghamba). Gejala sosial yang muncul dari keadaan ini adalah tidak adanya partisipasi masyarakat dalam urusan publik, tidak ada ruang untuk kritik, dan loyalitas yang tidak rasional kepada tuan tanah sebagai pemilik kuasa.

Kendati pun zaman telah berubah, praktik feodalisme sedikit atau banyak, tetap ada sebagai warisan budaya. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang paling terpengaruh oleh feodalisme. Budaya ini pada skala tertentu dibawa dan terbawa oleh pihak tertentu ke dalam pengelolaan negara. Salah satu gejala feodalisme lokal yang ditransfer dalam pengelolaan negara adalah lord narcissism, berupa perasaan serba berkuasa dan antikritik. Juga tampak dari adanya ide tradisional bahwa pemimpin nasional harus berasal dari sukunya. Praktik feodalisme lainnya yang kerap tampak di Indonesia adalah loyalitas tak masuk akal (fanatisme buta) kepada tokoh-tokoh politik. Keduanya dapat disebut dengan vassal mentality alias mentalitas hamba jelata.

Hal ini memberikan kekuatan pada tokoh tersebut karena selalu ada massa fanatik yang siap dikerahkan untuk merespon berbagai isu. Praktik budaya feodal lainnya adalah anggapan sebagian masyarakat bahwa berbagai bantuan, insentif, dan program dari pemerintah adalah bentuk kemurahan pejabat. Dalam perspektif vessel mentality, itu disamakan dengan tanah pemberian dari lord, yang dikenal dengan istilah fiefs. Gejala ini agaknya dapat disebut dengan feudal memory. Padahal, seperti yang disebut Alm Buya Syafii Ma’arif dalam sebuah tulisannya, membantu dan menyejahterakan rakyat adalah kewajiban penyelenggara negara sebagai amanat dari konstitusi dan undang-undang.

BACA JUGA:Pesta Demokrasi untuk Masa Depan Ekonomi yang Lebih Baik

BACA JUGA:Menunggu Konsistensi Kebijakan Pendidikan Inklusi

Hal ini muncul tampaknya karena sistem politik yang tengah digunakan di Indonesia memungkinkan hal tersebut terjadi, walaupun tidak semua suku di Indonesia mempraktikkan feodalisme. Beberapa suku bahkan sangat egalitarian.

Sistem pemilu one man one vote pada sisi menawarkan kesetaraan suara pada semua penduduk tanpa mempertimbangkan latar belakang individu. Terkait tulisan ini, sistem ini dianggap sebagai tiang utama praktik budaya feodal di Indonesia. Adalah kenyataan sosiologis bahwa beberapa suku dan daerah di Indonesia memiliki karakter budaya feodal yang sangat kuat. Pada saat bersamaan suku dan daerah tersebut memiliki jumlah pemilih signifikan. Pragmatisme politik kekuasaan akan mengambil untung dari hal tersebut dan memeliharanya sebagai sumber daya politik jangka panjang.

Sebagai kekuatan politik kekuasaan, para capres dalam pilpres 2024 bisa saja mengambil untung dari feodalisme di Indonesia ini. Sebagai strategi pemenangan, tentu saja langkah-langkah tersebut "sah-sah saja" karena memang tidak ada hukum yang dilanggar. Sekarang tinggal menimbang-nimbang intensi atau niat dasar para capres. Apakah mereka berniat untuk menyingkirkan praktik feodalisme dari praktik bernegara atau menjaganya sebagai sumber daya politik jangka panjang kelompok politiknya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan